Daftar Blog Saya

Rabu, 20 November 2013

PULAU DAMAR

Siapa yang menyangka ada sebuah pulau kecil yang bentuknya sama persis dengan sebuah kapal, ya seperti itulah..hehe (santai aja sambil nyeruduk kopi tumbu sendiri)...
     Bisa dibuktikan sendiri kebenarannya, sebuah pulau yang ukurannya tidak terlalu besar yang terletak di sekitaran GORONGOFA yang diberi nama oleh masyarakat setempat sebagai PULAU DAMAR, jika diamati kita bisa melihat ada keunikan tersendiri pada pulau tersebut, selain dari bentuknya yang sama dengan kapal kita juga bisa melihat ada dua buah batu tepat dibelakangnya yang berbentuk seperti mesin speed booot, dan juga ada sebuah batu yang letaknya tidak terlalu jauh dari pulau Damar, batu itu diberi nama Parsese (parsese ke ngoi mai waro ma arti uua a'di) oleh masyarakat setempat, dan menurut cerita rakyat setempat (parsese) adalah jangkar dari kapal (pulau damar) itu sendiri. Dan menurut beberapa nelayan bahwa di dalam pulau itu ternyata ada pecahan-pecahan piring jaman dulu yang diyakin sebagai milik Jepang (dilihat dari gambar dan tulisan dari pecahan itu).
     Ya, suatu keagungan dan kebesaran dari Sang Khalik yang menjadikan segala sesuatu di luar dari batas kemampua manusia untuk memikirkan dan memahaminya. Kita sebagai seorang yang beriman yang percaya akan adanya Tuhan dan Kebesarannya, mungkin tidak akan percaya bahwa pulau itu terbentuk oleh karena adanya unsur aktifitas manusia, namun kita akan mengatakan bahwa pulau yang berbentuk kapal tersebut ada karena kemahakusaan dari Dia yang adalah sang pencipta langit, bumi, laut dan segala isinya.
     Dibalik semua itu ternyata masyarakat setempat yakni Idamdehe dan Idamdehe Gamsungi mempunyai cerita tersendiri mengenai pulau Damar. Singkat cerita di zaman dulu ada seorang berbadan besar dan tinggi yang hidup di sekitaran Idamdehe, dan pulau yang berbentuk kapal itu adalah kapal milik Jepang yang berlabuh di sekitaran Gorongofa, dan melihat adanya aktifitas dari kapal tersebut timbullah inisiatif dari seorang yang berbadan besar yakni ia ingin menombak kapal itu, dan mata tombaknya adalah bambu. Singkat cerita ditombaklah kapal tersebut dan akhirnya berubah menjadi pulau.
     Secara ilimiah mungkin kita tidak akan percaya dengan cerita di atas, namun jika di amati maka kita akan melihat ada bagian - bagian yang ada keterkaitannya yang bisa menyempurnakan cerita rakyat di atas, yakni pulau yang berbentuk kapal itu sendiri, dua buah batu di belakangnya yang berbentuk mesin, batu panjang yang letaknya sekitar 50 meter dari pulau damar yang disebut parsese yang diyakini sebagai jangkar kapal, selain dari itu seorang yang menombak kapal tersebut diyakini ada kuburannya di Idamdehe yang letaknya di Jere, kuburan itu dinamakan kubur Saia oleh masyarakat setempat.

Catatan : Cerita mengenai pulau damar di atas bukanlah sebuah cerita yang lengkap dan akurat, namun cerita itu sepintas saya dengar waktu masih kecil.
Mudah - mudahan melalui sepintasan cerita ini ada anak - anak Idamdehe yang berhasrat untuk menghimpun cerita yang lebih detail dan bersumber dari pihak - pihak yang bisa dipercaya, maksudnya agar kita para generasi penerus tidak melupakan cerita rakyat tersebut.

ngoi to aacel ba'to ngalo nena ne ngoa Idamdehe re alam sekitar ke mempunyai keterikatan kuat cico " contoh b'ato setiap b'isa bola ke pasti pesa uci"


yang mau waro ka'ua tentang HUKUM klik na ane

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP SAKSI DAN KORBAN BERDASARKAN KETENTUAN UU NO 13 TAHUN 2006


MAKALAH
VIKTIMILOGI
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP SAKSI DAN KORBAN BERDASARKAN KETENTUAN UU NO 13 TAHUN 2006


DISUSUN OLEH KELOMPOK II
                        1.   BONEFASIUS RATMAN  
2.   HERMAN J. BANJARNAHOR     
3.   YAPPIE LEUNUFNA  
4.   MARWIN AGUSTRIYAN   
5.   SADRAK BUKA  
6.   ESAU RUMBARAR 
7.   YULCE FENANLAMBIR

  




YAYASAN PERGURUAN TINGGI MANOKWARI
SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM
2013 - 2014
 


i
KATA PENGANTAR
            Puji dan Syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa Pencipta langit dan bumi oleh karena penyertaan dan kasih-Nya maka kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini dengan judul : “ TINJAUAN YURIDIS TERHADAP SAKSI DAN KORBAN BERDASARKAN KETENTUAN UU NO 13 TAHUN 2006
            Kami menyadari sungguh bahwa dalam penyusunan dan penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan yang ada tentang kompleksitas permasalahan yang menjadi studi kajian kejahatan dalam presfektif Victimologi khusunya perlindungan saksi dan korban tindak pidana. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati kami siap menerima kritik, saran, ide, gagasan yang disampaikan gunan menambah informasi ilmu pengetahuan bagi kami agar kedepan dalam penulisan selanjutnya lebih obyektif, terarah, lebih mendalam tetang ruang lingkup perlinbdungan saksi dan korban dalam kontek victimologi.
            Kiranya dengan penulisan makalah ini dapat berguna bagi kita sekalian

                                                         Manokwari, 17 November 2013 


                                                                        Kelompok II






BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah

Seiring perkembangan zaman dan kemajuan teknologi berbagai bentuk kejahatanpun semakin meningkat terjadi di lingkungan masyarakat. Korban dari kejahatan itu sendiri selain dari orang dewasa tidak jarang anak-anak kecilpun atau usia sekolah ikut menjadi korban kejahatan.

Korban kejahatan adalah mereka atau seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental (phsikis) dan atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Namun yang sering menjadi permasalahannya adalah bahwa masih banyak kasus-kasus kejahatan yang mungkin tidak tersentuh proses hukum untuk diproses melalui persidangan, salah satu faktornya adalah  keengganan saksi dan korban  dan atau pelapor yang berani mengungkapkan kesaksiannya terhadap suatu tindak pidana yang terjadi, sementara alat bukti yang dibutuhkan oleh penyidik sangat terbatas sehingga penyidikpun sangat kesulitan dalam mengungkap suatu tindak pidana.

Berbagai bentuk kekerasan, ancaman kekerasan atau intimidasi yang diterima oleh saksi dan korban maupun keluarganya menjadi faktor utama yang membuat nyali korban maupun saksi kejahatan menciut untuk terlibat dan memberikan kesaksian yang sebenarnya atas suatu tindak pidana, bahkan tidak jarang orang yang melaporkan suatu tindak pidana justru dilaporkan kembali telah melakukan pencemaran nama baik terhadap orang yang dilaporkan melakukan kejahatan. Perlindungan hukum merupakan suatu bentuk pelayanan yang   diberikan oleh negara untuk memberikan rasa aman,nyaman, bebas dari tekanan dan atau intimidasi kepada setiap warga negara. Hal tersebut tertuang jelas dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, negara bertanggung jawab atas perlingdungan Hak Azasi Manusia yang merupakan unsur terpenting dalam hidup berbangsa dan bernegara seperti yang dijelaskan pasal pasal 28 I ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi : Perlindungan, Pemajuan, Penegakkan dan Pemenuhan Hak Azasi Manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah.

      Pentingnya perlindungan hukum terhadap setiap masyarakat inilah yang menjadi salah satu alasan diterbitkannya Undang – undang no 13 tahu 2006 tentang perlindungan saksi dan korban serta diatur pula tentang sebuah lembaga yang bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan hukum pada saksi dan korban yang dinamakan Lembaga Perlindungan saksi dan Korban ( LPSK ). Lembaga ini dipandang penting karena masyarakat luas memandang bahwa saksi dan korban sudah saatnya diberikan perlindungan dalam tingkatan sistem peradilan, dimana peranan saksi dan korban dalam setiap persidangan perkara pidana sangat urgent sifatnya mengingat kerap kali berdasarkan fakta persidangan keteranagn saksi dan korban dapat mempengaruhi dan menentukan kecenderungan putusan hakim. Sehingga ruang lingkup perlindungan oleh lembaga perlindungan saksi  adalah pada semua tahapan proses peradilan pidana agar saksi dan atau korban merasa aman ketika memberikan keterangan yang sebenarnya.

      Perlindungan yang diberikan pada korban atau saksi dapat dberikan pada tahapan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau di sidang peradilan atas dasar inisiatif dari aparat penegak hukum, aparat keamanan dan atau permohonan yang disampaikan oleh korban sebagaimana yang tercamtum dalam pasal 1 ayat 4,6 dan pasal 9 ayat 1, 2, dan 3 yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 1 (ayat 4 dan 6)
Pasal 4 :
        Ancaman adalah segala bentuk yang perbuatan yang menimbulkan akibat, baik langsung maupun tidak langsung, yang mengakibatkan saksi dan/atau korban merasa takut dan/atau dipaksa untuk melakukan dan atau tidak melakukan sesuatu halyang berkenaan dengan pemnerian kesaksiannya dalam  suatu proses peradilan pidana.

Ayat 6 :
Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan ole LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.

Pasal 9 (ayat 1,2, dan 3)
Ayat 1 :
Sanksi dan/atau korban yang merasa dirinya berada dalam ancaman yang sangat besar, atau persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa.
Ayat 2 :
Saksi dan/atau korban sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dapat memberikan kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dan membutuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian tersebut.
Atyat 3 :
Saksi dan/atau korban sebagaimana yang dimaksud pada aya (1) dapat pula di denga kesaksiannya secara langsung melalui sarana elekronik dengan didampingi oleh pejabat yang berweng.


 Berdasarkan  amanat UUD 1945 diatas , lembaga perlindungan saksi dan korban mengambil peranan penting dalam memberikan perlindungan sepenuhnya kepada korban kejahatan beserta keluarganya. Perlindungan tersebut diberikan berazaskan pada penghargaan atas harkat dan martabat manusia, rasa aman, keadilan, tidak diskriminatif dan berpedoman pada azas kepastian hukum.

      Dalam sitem hukum pidana Indonesia yang terkandung dalam KUHP cenderung lebih memberatkan pemberian perlindungan kepada warga negara yang berstatus sebagai tersangka atau terdakwa untuk mendapat perlindungan dari berbagai kemungkinan pelanggaran HAM sebagaimana termuat dalam pasal 50 s/d 68 KUHP. Oleh karena KUHP tidak secara tegas megatur tentang  perlindungan saksi dan korban maka beranjak dari dasar pemikiran  bahwa betapa pentingnya keterangan  saksi dan korban sebagai alat bukti dalam pembuktian kebenaran materil suatu tindak pidana dalam proses peradilan, maka dikeluarkanlah UU no 13 tahun 2006 sebagai dasar berlindungan hukum yang dibersingkronisasi dengan badan hukum, dan atau pejabat negara, dan atau lembaga negara lainnya yang mempunyai fungsi perlindungan, pengayoman, penegakan hukum dan HAM sebagimana tercantum dalam pasal 14 UU no 13 tahun 2006 tentang kelembagaan perlindungan Saksi dan Korban yang terdiri dari : Kepolisisan Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Departemen Hukum dan HAM Republik Indoensia, Akademisi, Advokat dan lembaga Swadaya masyarakat , serta pasal 36 ayat 1, 2 yang berbunyi sebagai berikut : (1) Dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan, LPSK dapat bekerja sama dengan instansi terkait yang berwenang. (2) Dalam melaksanakan perlindungan dan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, instansi terkait sesuai dengan kewenangannya wajib melaksanakan keputusan LPSK sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang – Undang ini.

 lembaga perlindungan saksi dan korban   ( LPSK ) sebagai lembaga yang bertanggung jawab  untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada korban bertugas sebagai perantara saksi atau korban untuk mengajukan Hak atas kopensasi, restitusi, bantuan medis dan atau bantuan Rehabilitasi Psiko Sosial seperti halnya yang terlampir dalam Pasal 1 ayat 2 dan pasal 7 ayat 1,2,3 UU no 13 tahun 2006. Untuk menindaklanjuti tugas dari LPSK sebagai lembaga yang meberikan pelayanan perlindungan kepada saksi dan atau korban dalam semua tahapan proses  peradilan pidana, Maka LPSK berkewajiban untuk menerima setiap permohonan tertulis yang diajukan oleh korban baik itu permohonan atas inisiatif langsung dari korban maupun atas permintaan pejabat yang berwenang sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 29 UU no 13 tahun 2006. Hal tersebut merupakan bentuk penerapan dari pada azas tidak diskriminatif yaitu tidak adanya perbedaan perlakuan dalam hal setiap orang yang ingin mendapatkan pelayanan perlindungan kepada LPSK. Selain itu Azas tidak diskriminatif ini merupakan tindak lanjut dari pada penegakan atas azas Equality before the Law  yaitu kesamaan kedudukan di mata hukum.

      Eksistensi lembaga perlindungan saksi dan korban yang berperan memberikan pelayanan terhadap saksi dan atau korban kejahatan pada khususnya menurut Weni Almoravid Dunga Sangat diperngaruhi oleh beberapa hal diataranya :
a.      Peraturan perundangan – undangan lainnya yang terkait perlindungan saksi dan korban
b.      Sikap mental saksi dan korban dalam mengungkap tindak pidana yang terjadi.
c.       Sikap profesioanalitas penegak hukum sesuai dengan keterkaitan dengan UU yang dimaksud.
d.      Kontrol masyarakat dalam membantu dan mengungkap keberadaan pelaku tindak pidna
e.      Media Elektronik dan Pers.
Oleh karena itu sangat diperlukan pengakuan atas keberadaan lembaga perlindungan saksi dan korban ( LPSK ) itu sendiri di dalam masyarakat untuk menyokong eksistensi LPSK dalam memberikan pelayanan yang baik khususnya terhadap korban kejahatan dalam suatu proses peradilan pidana.
Sebagaimana berdasarkan latar belakang yang telah dibahas diatas  maka kami kelompok II mengangkat perihal pembahasan dalam disiplin ilmu Victimologi sebagai sebuah makalah dengan judul : “ TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN BERDASARKAN KETENTUAN UU NO 13 TAHUN 2006
1.2  Rumusan Masalah
Dilandasi pemikiran latar belaknag masalah tersebut di atas maka kami kelompok II membatasi permaslahan dengan rumusan masalah Sebagai beikut :
1.      Bagaimanakah bentuk perlindungan dan Hak saksi dan korban tindak pidana menurut ketentuan UU no 13 tahun 2006 ?
2.       Sejauh mana penerapan ketentuan pasal – pasal sanksi pidana berdasarkan UU yang dimaksud ?
1.3  Tujuan penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui seperti apa bentuk perlindungan dan Hak saksi dan korban menurut ketentuan UU no 13 tahun 2006 .
2.      Untuk mengetahui sejauh mana penerapan pasal – pasal sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana menurut ketentuan UU no 13 tahun 2006

1.4  Manfaat penulisan
Adapun manfaat penulisan yang dapat kami sampaikan sebagai berikut :
1.      Sebagai bahan kajian secara teoritis tentang sejauh mana peranan lembaga perlindungan saksi dan korban dalam suatu tindak pidana
2.      Sebagai Literatur ilmu pengetahuan Hukum agar mahasiswa dapat memahami bagaimana mekanisme, peranan dan tugas LPSK sebagai lembaga independen dalam perlindungan saksi dan korban dalam suatu tindak pidana.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1    Bentuk Perlindungan dan Hak Saksi dan Korban Tindak Pidana Menurut Ketetauan uu no 13 Tahun 2006.

Berdasarkan kajian hukum yang mengacu pada ketentuan UU no 13 tahun 2006 yang terkandung dalam Bab II pasal 5 ayat 1 tentang perlindungan dan Hak saksi dan korban dijelaskan bahwa “ bentuk perlindungan yang paling utama  kepada korban kejahatan dan yang harus diberikan oleh LPSK sebagai bentuk tanggung jawab terhadap korban yaitu : Perlindnungan atas keamanan pribadi , keluarga dan harta bendanya serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang  atau telah diberikan oleh korban. Bahkan UU yang dimaksud guna menindaklanjuti perlindungan sebagaimana yang telah dijelaskan di atas berdasarkan pasal 5 ayat 1 huruf a , untuk memberikan rasa aman tanpa tekanan oleh pihak luar maka korban oleh UU dimaksud berhak ditempatkan dalam suatu lokasi atau kediaman baru yang dirahasiakan dari siapapun juga untuk menjamin keamanan korban serta berhak memakai identits baru sebagai bentuk pengamanan yang sifatnya sementara sampai dengan selesainya proses peradilan pidana. 

Adapun secara lengkap perlindungan dan hak saksi dan korban berdasarkan pasal 5 ayat I sebagai beikut :
Pasal 5
1.      Seorang saksi dan korban berhak :
a.      Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya serta bebas dari ancaman yang berkenaan  dengan kesaksian yang akan , sedang atau telah diberikanya.
b.      Ikut serta dalam proses memilih dan menetukan  bentuk perlindungan dan dukungan kemanan
c.       Memberikan keterangan tanpa tekanan.
d.      Mendapatkan penerjemah
e.      Mendapakan Informasi tentang perkembangan kasus
f.        Mendapatkan informasi tetang putusan pengadilan.
g.      Mendapatkan identitas baru
h.      Mendapatkan kediaman baru
i.        Memperoleh pengganti biaya transportasi sesuai kebutuhan.
j.        Mendapat nasihat  hukum dan atau
k.       Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir

Dengan adanya perlindungan hukum dari LPSK menurut ketetauan UU yang dimaksud maka penjaminan terhadap rasa aman terhadap saksi dan korbanpun menjadi semakin kuat kedudukan hukumnya.  

2.2    Penerapan Ketentuan Pasal – Pasal Sanksi Pidana  Berdasarkan UU no 13 Tahun 2006

Sejak dikeluarkanya UU saksi dan korban maka LPSK mempunyai fungsi dan tugas sesuai UU dalam memberikan rasa aman,  nyaman , Bebas dari intimidasi sebagai bentuk perlindungan saksi dan korban dalam suatu tindak pidana mulai dari tahapan penyelidikan, penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang peradilan. Dengan ketentuan pidana sebagai unsur utama bagi setip orang yang bermaksud memaksa kehendak dengan cara apapun yang mengakibatkan luka berat bahkan kematian sehingga saksi dan korban tidak dapat memberikan kesaksiannya pada tahapan pemeriksaan di tingkat manapun dan atau memberitahukan keberadaan saksi dan korban yag tengah dilindungi dan dirahasiakan oleh LPSK diancam dengan hukuman pidana  sebagaimana yang termuat dalam UU yang dimaksud.

Adapun penjelasan pasal – pasal sanksi pidana dalam UU no 13 tahun 2006 meliputi : pasal 37 ayat 1, 2 dan 3 ,pasal 38 , pasal 40, dan pasal 41 sebagai berikut : 

Pasal 37 ( ayat 1, 2 dan 3 )

       Ayat 1
Setiap orang yang memaksa kehendaknya baik menggunakan kekerasan maupun cara tertentu , yang menyebabkan saksi dan atau korban tidak memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf j sehingga saksi dan atau korban tidak memberikan kesaksiannya pada tahapan pemeriksaan tingkat manapun  dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 40.000.000,- ( empat puluh juta rupiah ) dan paling bahyak Rp. 200.000.000,- ( dua ratus juta rupiah )
            Ayat 2
Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 sehingga menimbulkan luka berat pada saksi dan atau korban , dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 7 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 80.000.000,- ( delapan puluh juta rupiah ) dan paling banyak Rp. 500.000.000,- ( lima ratus juta rupiah )
Ayat 3
Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaiamana dimaksud dalam ayat 1 , sehingga mengakibatkan matinya saksi dan atau korban dipidana dengan pidana penjara paling sedkit 5 tahun dan paling lama seumur hidup dan denda paling sedikit Rp. 80.000.000,- ( delapan puluh juta rupiah ) dan paling banyak Rp. 500.000.000,- ( lima ratus juta rupiah ). 
Pasal 38
Setiap orang yang menghalang - halangi dengan cara apapun, sehingga saksi dan atau korban tidak memperoleh perlindungan atau bantuan sebagaimana dimaksud di dalam pasal 1 huruf a dan huruf j , pasal 6 atau pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 7 tahun dan pidana dendan paling sedikit Rp. 80.000.000,- ( delapan puluh juta rupiah ) dan paling banyak Rp. 500.000.000,- ( lima ratus juta rupiah )

Pasal 40
Setiap orang yang menyebabkan dirugikannya atau dikuranginya hak – hak saksi atau korban sebgaimana dimaksud dalam pasal 6 atau pasal 7 ayat 1 karena saksi atau korban memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun dan pidana denda paling sedikt Rp. 30.000.000,- ( tiga puluh juta rupiah ) dan paling sedikit Rp. 500.000.000-,-( lima ratus juta rupiah )
Pasal 41
Setiap orang yang memberitahukankan saksi atau korban yang dilindungi dalam suatu tempat khusus yang dirahasiakan oleh LPSK sebagaiamana yang dimaksud dalam pasal 5 yata 1 huruf J , dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 7 tahun dan  pidana denda paling sedikit Rp. 80.000.000,- ( delapan puluh juta rupiah ) dan paling banyak Rp. 500.000.000,- ( lima ratus juta rupiah )
Dengan penerapan pasal – pasal tersebut , bagi siapapun dia dan atau setiap orang  baik langsung maupun tidak langsung dalam keterkaitanya dengan suatu tindak pidana yang sementara dalam penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan atau pemerikasaan di sidang peradilan diancam dengan sanksi pidana sebagaimana yang termuat dalam UU yang dimaksud.



BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan seperti yang telah disampaikan maka Kami ( kelompok II ) dapat menarik kesimpulan sebgaai berikut :
1.      Lembaga perlindungan saksi dan korban memiliki pernan yang sangat penting dalam memberikan pelindungan sepenuhnya kepada korban kejahatan beserta keluarganya selama proses peradilan berlangsung sebagai bentuk kewenangan yang diberikan kepada korban kejahatan berdasarkan ketentuan UU no 13 tahun 2006

2.      Kelembagaan LPSK menurut ketentuan UU tersebut terdiri dari : Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Departemen Hukum dan Ham Republik Indonesia, Akademisi, Advokat dan lembaga swadaya masyarakat.

3.      Korban kejahatan melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa hak atas Kopensasi, hak atas restitusi dan bantuan medis dan atau rehabilitasi Psiko Sosial berdasarkan ketetuan UU no 13 tahun 2006

3.2  Saran

Berdasarkan hasil pembahasan , maka kami (  kelompok II ) dapat menyampaikan saran sebagai berikut :

1.      Dalam menjalankan fungsi perlindungan , diharapkan hubungan kerja dan atau koordinasi antara LPSK dengan lembaga terkait harus lebih diintensifkan sesuai dengan UU perlindungan saksi dan korban.

2.      Dengan hadirnya LPSK sesuai dengan UU no 13 tahun 2006 , kiranya dapat membuka lembaga perwakilan LPSK di daerah – daerah guna menjawab persoalan terhadap perlindungan saksi dan korban diseluruh indonesia secara Optimal.




DAFTAR PUSTAKA
Ø  UU No 13 tahun 2006 tentang lembaga perlindungan saksi dan korban
Ø  Peraturan pemerintah RI no 44 tahun 2008 tentang pemberian kopensasi, restitusi dan Bantuan terhadap saksi dan korban.  
Ø Materi Foto Copy mata kuliah Victimologi ; Acmad. J. Asrul., SH ., M.H
Ø  Literatur – literatur lainya ( media internet )