MAKALAH
VIKTIMILOGI
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP SAKSI DAN KORBAN BERDASARKAN KETENTUAN
UU NO 13 TAHUN 2006
DISUSUN
OLEH KELOMPOK II
1.
BONEFASIUS
RATMAN
2.
HERMAN
J. BANJARNAHOR
3.
YAPPIE
LEUNUFNA
4.
MARWIN
AGUSTRIYAN
5.
SADRAK
BUKA
6.
ESAU
RUMBARAR
7.
YULCE
FENANLAMBIR
YAYASAN
PERGURUAN TINGGI MANOKWARI
SEKOLAH
TINGGI ILMU HUKUM
2013
- 2014
i
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kami panjatkan
kepada Tuhan yang Maha Kuasa Pencipta langit dan bumi oleh karena penyertaan
dan kasih-Nya maka kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini dengan judul
: “ TINJAUAN YURIDIS TERHADAP SAKSI DAN
KORBAN BERDASARKAN KETENTUAN UU NO 13 TAHUN 2006 “
Kami menyadari sungguh bahwa dalam
penyusunan dan penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan yang ada tentang
kompleksitas permasalahan yang menjadi studi kajian kejahatan dalam presfektif
Victimologi khusunya perlindungan saksi dan korban tindak pidana. Oleh karena
itu dengan segala kerendahan hati kami siap menerima kritik, saran, ide, gagasan
yang disampaikan gunan menambah informasi ilmu pengetahuan bagi kami agar
kedepan dalam penulisan selanjutnya lebih obyektif, terarah, lebih mendalam
tetang ruang lingkup perlinbdungan saksi dan korban dalam kontek victimologi.
Kiranya dengan penulisan makalah ini
dapat berguna bagi kita sekalian
Manokwari,
17 November 2013
Kelompok
II
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Seiring perkembangan zaman dan kemajuan teknologi berbagai
bentuk kejahatanpun semakin meningkat terjadi di lingkungan masyarakat. Korban
dari kejahatan itu sendiri selain dari orang dewasa tidak jarang anak-anak kecilpun
atau usia sekolah ikut menjadi korban kejahatan.
Korban kejahatan adalah mereka atau seseorang yang mengalami
penderitaan fisik, mental (phsikis) dan atau kerugian ekonomi yang diakibatkan
oleh suatu tindak pidana. Namun yang sering menjadi permasalahannya adalah
bahwa masih banyak kasus-kasus kejahatan yang mungkin tidak tersentuh proses
hukum untuk diproses melalui persidangan, salah satu faktornya adalah keengganan saksi dan korban dan atau pelapor yang berani mengungkapkan
kesaksiannya terhadap suatu tindak pidana yang terjadi, sementara alat bukti
yang dibutuhkan oleh penyidik sangat terbatas sehingga penyidikpun sangat kesulitan
dalam mengungkap suatu tindak pidana.
Berbagai bentuk kekerasan, ancaman kekerasan atau intimidasi
yang diterima oleh saksi dan korban maupun keluarganya menjadi faktor utama yang
membuat nyali korban maupun saksi kejahatan menciut untuk terlibat dan
memberikan kesaksian yang sebenarnya atas suatu tindak pidana, bahkan tidak jarang
orang yang melaporkan suatu tindak pidana justru dilaporkan kembali telah
melakukan pencemaran nama baik terhadap orang yang dilaporkan melakukan
kejahatan. Perlindungan hukum merupakan suatu bentuk pelayanan yang diberikan oleh negara untuk memberikan rasa
aman,nyaman, bebas dari tekanan dan atau intimidasi kepada setiap warga negara.
Hal tersebut tertuang jelas dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia, negara bertanggung jawab atas perlingdungan Hak Azasi Manusia yang
merupakan unsur terpenting dalam hidup berbangsa dan bernegara seperti yang
dijelaskan pasal pasal 28 I ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi :
Perlindungan, Pemajuan, Penegakkan dan Pemenuhan Hak Azasi Manusia adalah
tanggung jawab negara terutama pemerintah.
Pentingnya perlindungan hukum terhadap
setiap masyarakat inilah yang menjadi salah satu alasan diterbitkannya Undang –
undang no 13 tahu 2006 tentang perlindungan saksi dan korban serta diatur pula
tentang sebuah lembaga yang bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan
dan bantuan hukum pada saksi dan korban yang dinamakan Lembaga Perlindungan
saksi dan Korban ( LPSK ). Lembaga ini dipandang penting karena masyarakat luas
memandang bahwa saksi dan korban sudah saatnya diberikan perlindungan dalam
tingkatan sistem peradilan, dimana peranan saksi dan korban dalam setiap
persidangan perkara pidana sangat urgent sifatnya mengingat kerap kali berdasarkan
fakta persidangan keteranagn saksi dan korban dapat mempengaruhi dan menentukan
kecenderungan putusan hakim. Sehingga ruang lingkup perlindungan oleh lembaga
perlindungan saksi adalah pada semua
tahapan proses peradilan pidana agar saksi dan atau korban merasa aman ketika
memberikan keterangan yang sebenarnya.
Perlindungan yang diberikan pada korban
atau saksi dapat dberikan pada tahapan penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
dan atau di sidang peradilan atas dasar inisiatif dari aparat penegak hukum,
aparat keamanan dan atau permohonan yang disampaikan oleh korban sebagaimana
yang tercamtum dalam pasal 1 ayat 4,6 dan pasal 9 ayat 1, 2, dan 3 yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 1 (ayat 4 dan 6)
Pasal 4 :
Ancaman adalah segala bentuk yang perbuatan yang menimbulkan akibat, baik langsung maupun tidak langsung, yang mengakibatkan saksi dan/atau korban merasa takut dan/atau dipaksa untuk melakukan dan atau tidak melakukan sesuatu halyang berkenaan dengan pemnerian kesaksiannya dalam suatu proses peradilan pidana.
Ayat 6 :
Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian
bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan
ole LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
Pasal 9 (ayat 1,2, dan 3)
Ayat 1 :
Sanksi dan/atau korban yang merasa dirinya berada dalam
ancaman yang sangat besar, atau persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa
hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa.
Ayat 2 :
Saksi dan/atau korban sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)
dapat memberikan kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan di hadapan
pejabat yang berwenang dan membutuhkan tanda tangannya pada berita acara yang
memuat tentang kesaksian tersebut.
Atyat 3 :
Saksi dan/atau korban sebagaimana yang dimaksud pada aya (1)
dapat pula di denga kesaksiannya secara langsung melalui sarana elekronik
dengan didampingi oleh pejabat yang berweng.
Berdasarkan amanat UUD 1945 diatas ,
lembaga perlindungan saksi dan korban mengambil peranan penting dalam
memberikan perlindungan sepenuhnya kepada korban kejahatan beserta keluarganya.
Perlindungan tersebut diberikan berazaskan pada penghargaan atas harkat dan
martabat manusia, rasa aman, keadilan, tidak diskriminatif dan berpedoman pada azas
kepastian hukum.
Dalam sitem hukum pidana Indonesia yang
terkandung dalam KUHP cenderung lebih memberatkan pemberian perlindungan kepada
warga negara yang berstatus sebagai tersangka atau terdakwa untuk mendapat
perlindungan dari berbagai kemungkinan pelanggaran HAM sebagaimana termuat
dalam pasal 50 s/d 68 KUHP. Oleh karena KUHP tidak secara tegas megatur
tentang perlindungan saksi dan korban
maka beranjak dari dasar pemikiran bahwa
betapa pentingnya keterangan saksi dan
korban sebagai alat bukti dalam pembuktian kebenaran materil suatu tindak
pidana dalam proses peradilan, maka dikeluarkanlah UU no 13 tahun 2006 sebagai
dasar berlindungan hukum yang dibersingkronisasi dengan badan hukum, dan atau
pejabat negara, dan atau lembaga negara lainnya yang mempunyai fungsi
perlindungan, pengayoman, penegakan hukum dan HAM sebagimana tercantum dalam
pasal 14 UU no 13 tahun 2006 tentang kelembagaan perlindungan Saksi dan Korban
yang terdiri dari : Kepolisisan Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Agung Republik
Indonesia, Departemen Hukum dan HAM Republik Indoensia, Akademisi, Advokat dan
lembaga Swadaya masyarakat , serta pasal 36 ayat 1, 2 yang berbunyi sebagai
berikut : (1) Dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan, LPSK dapat
bekerja sama dengan instansi terkait yang berwenang. (2) Dalam melaksanakan perlindungan
dan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, instansi terkait sesuai dengan kewenangannya
wajib melaksanakan keputusan LPSK sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang
– Undang ini.
lembaga perlindungan
saksi dan korban ( LPSK ) sebagai lembaga yang bertanggung
jawab untuk menangani pemberian
perlindungan dan bantuan pada korban bertugas sebagai perantara saksi atau
korban untuk mengajukan Hak atas kopensasi, restitusi, bantuan medis dan atau
bantuan Rehabilitasi Psiko Sosial seperti halnya yang terlampir dalam Pasal 1
ayat 2 dan pasal 7 ayat 1,2,3 UU no 13 tahun 2006. Untuk menindaklanjuti tugas
dari LPSK sebagai lembaga yang meberikan pelayanan perlindungan kepada saksi
dan atau korban dalam semua tahapan proses
peradilan pidana, Maka LPSK berkewajiban untuk menerima setiap
permohonan tertulis yang diajukan oleh korban baik itu permohonan atas
inisiatif langsung dari korban maupun atas permintaan pejabat yang berwenang
sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 29 UU no 13 tahun 2006. Hal tersebut
merupakan bentuk penerapan dari pada azas tidak diskriminatif yaitu tidak adanya
perbedaan perlakuan dalam hal setiap orang yang ingin mendapatkan pelayanan
perlindungan kepada LPSK. Selain itu Azas tidak diskriminatif ini merupakan
tindak lanjut dari pada penegakan atas azas Equality before the Law yaitu kesamaan kedudukan di mata hukum.
Eksistensi lembaga perlindungan saksi dan
korban yang berperan memberikan pelayanan terhadap saksi dan atau korban
kejahatan pada khususnya menurut Weni Almoravid Dunga Sangat diperngaruhi oleh
beberapa hal diataranya :
a.
Peraturan
perundangan – undangan lainnya yang terkait perlindungan saksi dan korban
b.
Sikap
mental saksi dan korban dalam mengungkap tindak pidana yang terjadi.
c.
Sikap
profesioanalitas penegak hukum sesuai dengan keterkaitan dengan UU yang
dimaksud.
d.
Kontrol
masyarakat dalam membantu dan mengungkap keberadaan pelaku tindak pidna
e.
Media
Elektronik dan Pers.
Oleh karena itu sangat
diperlukan pengakuan atas keberadaan lembaga perlindungan saksi dan korban (
LPSK ) itu sendiri di dalam masyarakat untuk menyokong eksistensi LPSK dalam
memberikan pelayanan yang baik khususnya terhadap korban kejahatan dalam suatu
proses peradilan pidana.
Sebagaimana berdasarkan
latar belakang yang telah dibahas diatas
maka kami kelompok II mengangkat perihal pembahasan dalam disiplin ilmu
Victimologi sebagai sebuah makalah dengan judul : “ TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN BERDASARKAN
KETENTUAN UU NO 13 TAHUN 2006 “
1.2 Rumusan Masalah
Dilandasi
pemikiran latar belaknag masalah tersebut di atas maka kami kelompok II
membatasi permaslahan dengan rumusan masalah Sebagai beikut :
1. Bagaimanakah bentuk perlindungan dan
Hak saksi dan korban tindak pidana menurut ketentuan UU no 13 tahun 2006 ?
2. Sejauh mana penerapan ketentuan pasal – pasal
sanksi pidana berdasarkan UU yang dimaksud ?
1.3 Tujuan penulisan
Adapun
yang menjadi tujuan penulisan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui seperti apa bentuk
perlindungan dan Hak saksi dan korban menurut ketentuan UU no 13 tahun 2006 .
2. Untuk mengetahui sejauh mana
penerapan pasal – pasal sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana menurut
ketentuan UU no 13 tahun 2006
1.4 Manfaat penulisan
Adapun
manfaat penulisan yang dapat kami sampaikan sebagai berikut :
1.
Sebagai
bahan kajian secara teoritis tentang sejauh mana peranan lembaga perlindungan
saksi dan korban dalam suatu tindak pidana
2.
Sebagai
Literatur ilmu pengetahuan Hukum agar mahasiswa dapat memahami bagaimana
mekanisme, peranan dan tugas LPSK sebagai lembaga independen dalam perlindungan
saksi dan korban dalam suatu tindak pidana.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Bentuk Perlindungan dan Hak Saksi dan
Korban Tindak Pidana Menurut Ketetauan uu no 13 Tahun 2006.
Berdasarkan kajian hukum yang mengacu pada ketentuan UU no 13
tahun 2006 yang terkandung dalam Bab II pasal 5 ayat 1 tentang perlindungan dan
Hak saksi dan korban dijelaskan bahwa “ bentuk perlindungan yang paling
utama kepada korban kejahatan dan yang
harus diberikan oleh LPSK sebagai bentuk tanggung jawab terhadap korban yaitu :
Perlindnungan atas keamanan pribadi , keluarga dan harta bendanya serta bebas
dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikan oleh korban. Bahkan UU
yang dimaksud guna menindaklanjuti perlindungan sebagaimana yang telah
dijelaskan di atas berdasarkan pasal 5 ayat 1 huruf a , untuk memberikan rasa
aman tanpa tekanan oleh pihak luar maka korban oleh UU dimaksud berhak
ditempatkan dalam suatu lokasi atau kediaman baru yang dirahasiakan dari
siapapun juga untuk menjamin keamanan korban serta berhak memakai identits baru
sebagai bentuk pengamanan yang sifatnya sementara sampai dengan selesainya
proses peradilan pidana.
Adapun secara lengkap perlindungan dan hak saksi dan korban
berdasarkan pasal 5 ayat I sebagai beikut :
Pasal 5
1. Seorang saksi dan korban berhak :
a. Memperoleh perlindungan atas keamanan
pribadi, keluarga dan harta bendanya serta bebas dari ancaman yang
berkenaan dengan kesaksian yang akan ,
sedang atau telah diberikanya.
b. Ikut serta dalam proses memilih dan
menetukan bentuk perlindungan dan
dukungan kemanan
c. Memberikan keterangan tanpa tekanan.
d. Mendapatkan penerjemah
e. Mendapakan Informasi tentang
perkembangan kasus
f.
Mendapatkan
informasi tetang putusan pengadilan.
g. Mendapatkan identitas baru
h. Mendapatkan kediaman baru
i.
Memperoleh
pengganti biaya transportasi sesuai kebutuhan.
j.
Mendapat
nasihat hukum dan atau
k. Memperoleh bantuan biaya hidup
sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir
Dengan adanya perlindungan hukum dari LPSK menurut ketetauan
UU yang dimaksud maka penjaminan terhadap rasa aman terhadap saksi dan
korbanpun menjadi semakin kuat kedudukan hukumnya.
2.2
Penerapan Ketentuan Pasal – Pasal Sanksi
Pidana Berdasarkan UU no 13 Tahun 2006
Sejak dikeluarkanya UU saksi dan korban maka LPSK mempunyai
fungsi dan tugas sesuai UU dalam memberikan rasa aman, nyaman , Bebas dari intimidasi sebagai bentuk
perlindungan saksi dan korban dalam suatu tindak pidana mulai dari tahapan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang peradilan.
Dengan ketentuan pidana sebagai unsur utama bagi setip orang yang bermaksud
memaksa kehendak dengan cara apapun yang mengakibatkan luka berat bahkan
kematian sehingga saksi dan korban tidak dapat memberikan kesaksiannya pada
tahapan pemeriksaan di tingkat manapun dan atau memberitahukan keberadaan saksi
dan korban yag tengah dilindungi dan dirahasiakan oleh LPSK diancam dengan
hukuman pidana sebagaimana yang termuat
dalam UU yang dimaksud.
Adapun penjelasan pasal – pasal sanksi pidana dalam UU no 13
tahun 2006 meliputi : pasal 37 ayat 1, 2 dan 3 ,pasal 38 , pasal 40, dan pasal
41 sebagai berikut :
Pasal 37 ( ayat 1, 2 dan 3 )
Ayat 1
Setiap orang yang memaksa kehendaknya
baik menggunakan kekerasan maupun cara tertentu , yang menyebabkan saksi dan
atau korban tidak memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5
ayat 1 huruf a atau huruf j sehingga saksi dan atau korban tidak memberikan
kesaksiannya pada tahapan pemeriksaan tingkat manapun dipidana dengan pidana penjara paling singkat
1 tahun dan paling lama 5 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.
40.000.000,- ( empat puluh juta rupiah ) dan paling bahyak Rp. 200.000.000,- (
dua ratus juta rupiah )
Ayat 2
Setiap orang yang
melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 sehingga
menimbulkan luka berat pada saksi dan atau korban , dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 7 tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp. 80.000.000,- ( delapan puluh juta rupiah ) dan paling banyak Rp.
500.000.000,- ( lima ratus juta rupiah )
Ayat 3
Setiap orang yang
melakukan pemaksaan kehendak sebagaiamana dimaksud dalam ayat 1 , sehingga
mengakibatkan matinya saksi dan atau korban dipidana dengan pidana penjara
paling sedkit 5 tahun dan paling lama seumur hidup dan denda paling sedikit Rp.
80.000.000,- ( delapan puluh juta rupiah ) dan paling banyak Rp. 500.000.000,-
( lima ratus juta rupiah ).
Pasal 38
Setiap orang yang
menghalang - halangi dengan cara apapun, sehingga saksi dan atau korban tidak
memperoleh perlindungan atau bantuan sebagaimana dimaksud di dalam pasal 1
huruf a dan huruf j , pasal 6 atau pasal 7 dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 2 tahun dan paling lama 7 tahun dan pidana dendan paling sedikit
Rp. 80.000.000,- ( delapan puluh juta rupiah ) dan paling banyak Rp.
500.000.000,- ( lima ratus juta rupiah )
Pasal 40
Setiap orang yang
menyebabkan dirugikannya atau dikuranginya hak – hak saksi atau korban sebgaimana
dimaksud dalam pasal 6 atau pasal 7 ayat 1 karena saksi atau korban memberikan
kesaksian yang benar dalam proses peradilan dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun dan pidana denda paling sedikt
Rp. 30.000.000,- ( tiga puluh juta rupiah ) dan paling sedikit Rp. 500.000.000-,-(
lima ratus juta rupiah )
Pasal 41
Setiap orang yang
memberitahukankan saksi atau korban yang dilindungi dalam suatu tempat khusus
yang dirahasiakan oleh LPSK sebagaiamana yang dimaksud dalam pasal 5 yata 1
huruf J , dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama
7 tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp. 80.000.000,- ( delapan puluh juta rupiah ) dan paling banyak Rp.
500.000.000,- ( lima ratus juta rupiah )
Dengan penerapan pasal
– pasal tersebut , bagi siapapun dia dan atau setiap orang baik langsung maupun tidak langsung dalam
keterkaitanya dengan suatu tindak pidana yang sementara dalam penyelidikan, penyidikan,
penuntutan dan atau pemerikasaan di sidang peradilan diancam dengan sanksi pidana
sebagaimana yang termuat dalam UU yang dimaksud.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil
pembahasan seperti yang telah disampaikan maka Kami ( kelompok II ) dapat
menarik kesimpulan sebgaai berikut :
1.
Lembaga
perlindungan saksi dan korban memiliki pernan yang sangat penting dalam
memberikan pelindungan sepenuhnya kepada korban kejahatan beserta keluarganya
selama proses peradilan berlangsung sebagai bentuk kewenangan yang diberikan
kepada korban kejahatan berdasarkan ketentuan UU no 13 tahun 2006
2.
Kelembagaan
LPSK menurut ketentuan UU tersebut terdiri dari : Kepolisian Negara Republik
Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Departemen Hukum dan Ham
Republik Indonesia, Akademisi, Advokat dan lembaga swadaya masyarakat.
3.
Korban
kejahatan melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa hak atas
Kopensasi, hak atas restitusi dan bantuan medis dan atau rehabilitasi Psiko
Sosial berdasarkan ketetuan UU no 13 tahun 2006
3.2 Saran
Berdasarkan hasil pembahasan , maka kami ( kelompok II ) dapat menyampaikan saran
sebagai berikut :
1. Dalam menjalankan fungsi perlindungan
, diharapkan hubungan kerja dan atau koordinasi antara LPSK dengan lembaga
terkait harus lebih diintensifkan sesuai dengan UU perlindungan saksi dan
korban.
2. Dengan hadirnya LPSK sesuai dengan UU
no 13 tahun 2006 , kiranya dapat membuka lembaga perwakilan LPSK di daerah –
daerah guna menjawab persoalan terhadap perlindungan saksi dan korban diseluruh
indonesia secara Optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Ø UU No 13 tahun 2006 tentang lembaga
perlindungan saksi dan korban
Ø Peraturan pemerintah RI no 44 tahun
2008 tentang pemberian kopensasi, restitusi dan Bantuan terhadap saksi dan
korban.
Ø Materi Foto Copy mata kuliah
Victimologi ; Acmad. J. Asrul., SH ., M.H
Ø Literatur – literatur lainya ( media
internet )